Redaksi24,Ternate- Perjalanan Hukum Muhaimin Syarif, yang terlibat dalam kasus dugaan pelanggaran terkait wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di Maluku Utara, akan memasuki tahap akhir.
Selama proses persidangan perkaran dengan terdawak, dimulai sejak dibacakan Tim Penuntut Umum KPK pada 2 Oktober tahun 2024 atau lebih dari dua bulan telah dilakukan pemeriksaan silang terhadap 45 (empat puluh lima) orang saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum KPK.
Terungkap sejumlah fakta, sekaligus terbuka sejumlah persoalan pada BAP Penyidik hingga adanya saksi yang mengaku ditekan saat diperiksa.
Sesuai dengan Hak Terdakwa yang dijamin KUHAP, Tim Penasihat Hukum kemudian menghadirkan 11 (sebelas) orang Saksi, dan 3 (tiga) orang Ahli, yang terdiri dari Ahli Hukum Pidana, Pertambangan dan Ahli Sosial, Budaya & Keagamaan.
Pada tanggal 9 Desember 2024 lalu, untuk menjawab Tuntutan Penuntut Umum KPK dan meramu seluruh fakta persidangan Tim Penasihat Hukum juga telah mengajukan dan membacakan Nota Pembelaan yang diberi judul: “Mencari Keadilan di Belantara Tuduhan & Asumsi”
Nota Pembelaan (Pledooi) setebal 695 halaman ini dan lampiran dengan ketebalan yang kurang lebih sama tersebut telah menguraikan begitu banyak aspek, mulai dari 11 (sebelas) catatan terhadap Tuntutan KPK, 24 (dua puluh empat) bagian Analisa Fakta dan Analisa Aliran Dana, serta Analisa Yuridis yang membedah secara rinci kekeliruan KPK dalam menerapkan pasal-pasal UU Tindak Pidana Korupsi ataupun KUHP.
Dalam Konferensi Pers yang berlangsung di Hotel GAIA Ternate pada Rabu siang , Ketua Tim Penasihat Hukum Muhaimin Syarif, Febri Diansyah menilai, Panuntut Umum gagal membuktikan sebuah peristiws. Penuntut Umum kemudian seolah-olah melemparkan kewajiban pembuktian kepada Terdakwa, mengomentari keterangan Terdakwa dan keterangan saksi.
Padahal beban pembuktian utama dalam perkara ini berada pada Penuntut Umum dan Penuntut Umum berulang kali menggunakan analogi atau pengandaian terhadap fakta yang sebenarnya tidak pernah terungkap di persidangan.
“Penuntut Umum menggunakan logika konspiratif dan “cocok-logi terhadap fakta yang tidak ada di persidangan yang mana menganggap perbedaan keterangan saksi, diantaranya saksi Ramadhan Ibrahim di persidangan ini dengan persidangan lainnya adalah karena Saksi dan Terdakwa ditahan di rutan yang sama sehingga disimpulkan Saksi memberikan keterangan untuk kepentingan Terdakwa. Padahal Terdakwa tidak pernah memilih ditahan dimana, karena lokasi penahanan ditentukan oleh KPK. Ungkap Febri.
Tim Penasihat Hukum juga mengkritik metode “cocok-logi” Penuntut Umum dalam membuktikan perkara ini. Karena seharusnya pembuktian pidana itu tidak boleh mengandung keraguan sedikit pun (beyond reasonable doubt dan bukti dalam pidana itu harus lebih terang dari cahaya. Inilah yang Kami tulis di cover halaman depan Pledool, yaitu: IN CRIMINALIBUS PROBATIONES DEBENT ESSE LUCE CLARIONS (BUKTI HARUS LEBIH TERANG DARIPADA CAHAYA);
Hal ini penting untuk menghindari kesalahan penghukuman terhadap pihak-pihak yang terlanjur menjadi tersangka atau terlanjur diframing seolah-olah ia adalah pelaku korupsi besar dan bahkan disebut dengan mafia. Tutup febri.
Tinggalkan Balasan